|
Apriyadi bersama anak dan istrinya. Nampak difoto Apriyadi harus diamputasi kaki kirinya karena ditembak polisi. |
BANDARNEGERI SEMUONG – Peristiwa penangkapan, empat kali penembakan, dan
penahanan Apriyadi (27) bin Hasanal oleh anggota Polres Tanggamus
secara membabi-buta dan diduga tanpa dasar, terus berlanjut. Sungguh
mencengangkan, keterangan versi kepolisian soal perbuatan oknum aparat,
yang disinyalir mengarah pada pelanggaran hak asasi manusia (HAM),
sangat berlawanan dengan penjelasan Apriyadi dan keluarganya.
Bisa dibilang sosok Apriyadi, warga Pekon Rajabasa, Kecamatan
Bandarnegeri Semuong itu, adalah salah satu Warga Negara Indonesia
(WNI), yang seharusnya mendapatkan persamaan dan keadilan hak di depan
hukum, justru diduga menjadi tumbal dari ulah sembrono oknum aparat yang
tidak profesional dalam bertugas. Lebih ironis lagi, Apriyadi yang saat
ditangkap punya sepasang kaki, ketika kembali dalam pelukan isteri dan
kedua putrinya, hanya punya kaki kanan. Bagaimanakah dia sebagai kepala
keluarga yang hanya punya satu kaki, harus menghidupi seorang istri dan
dua buah hatinya, yang masing-masing berusia sembilan dan 2,5 tahun?
Saat dikonfirmasi terkait penangkapan, penembakan, hingga penahanan
Apriyadi pada 23 Juni lalu, Pj. Kasatreskrim Iptu. Syahrial mendampingi
Kapolres Tanggamus AKBP Dedi Supriyadi,beberapa waktu yang lalu menampik
keras jika mereka salah tangkap. Polisi memastikan bahwa bapak dua anak
itu merupakan pelaku kejahatan yang diatur dalam Pasal 360 KUHAP
tentang kelalaian/kealpaan yang mengakibatkan orang lain terluka.
Sementara dari penuturan Hasanal (52) yang tak lain ayah Apriyadi yang
didampingi Kepala Pekon Rajabasa, Ahmad Fauzi dengan lugas menerangkan,
awalnya Apriyadi ditangkap karena dituduh terlibat kasus 365 KUHAP
tentang pencurian dengan kekerasan (curas) turis luar negeri di wilayah
Kecamatan Wonosobo. Mereka mengaku tak habis pikir, mengapa penerapan
pasal itu bisa berbeda dengan yang disampaikan pada media massa, setelah
kasus ini mencuat ke permukaan.
”Jujur ya mas, sekarang ini kami sudah sangat bersyukur karena anak saya
ini bisa bebas. Dia dibebaskan hari Rabu (17/12) sekitar pukul 15.00
WIB. Makanya sekarang ini sebenarnya kami sangat takut menyampaikan
keterangan kami. Karena kemarin sore, waktu saya menjemput Apriyadi,
baik saya, Apriyadi, dan semua keluarga diminta untuk tidak macam-macam
oleh bapak polisi. Karena kalau sampai setelah pembebasan Apriyadi
muncul masalah baru, maka anak saya ini akan ditangkap lagi,” ungkap
Hasanal yang mengaku cobaan yang menimpa keluarganya itu sangat berat.
Selain adanya perbedaan tuduhan pasal yang disangkakan, kejanggalan juga
terlihat saat proses penangkapan Apriyadi. Baik Hasanal sebagai
ayahnya, maupun Ahmad Fauzi sebagai Kepala Pekon Rajabasa menegaskan,
rombongan buser tidak memberikan selembar pun surat saat menangkap
Apriyadi pada hari Senin (23/6) sekitar pukul 11.00 WIB. Surat
pemberitahuan penangkapan, baru diserahkan ke kepala pekon dua hari
pascapenangkapan, yaitu pada 25 Juni, sesuai tanggal surat yang
ditandatangani oleh kasatreskrim sebelum Syahrial.
Pria paruh baya yang sehari-harinya memenuhi kebutuhan hidup
keluarganya dengan bertani dan berkebun itu juga membantah, jika
Apriyadi mengidap penyakit kencing manis. Menurut dia, dalam keluarganya
tidak ada riwayat penyakit tersebut. Sementara Apriyadi mengaku, soal
riwayat penyakit kencing manis itu sengaja dimunculkan oleh polisi.
Terkait peluru yang menembus kaki Apriyadi, itu memang benar, yaitu
tembakan yang diarahkan ke betis. Namun, proyekil tembakan pada mata
kaki kiri yang bersarang di dalam.
”Saya ditangkap bulan Juni dan baru hari rabu (17/12) saya boleh bebas.
Jadi sekitar lima bulanan saya menghabiskan waktu di rumah sakit untuk
menjalani empat kali operasi. Karena saya ditembak bukan hanya sekali,
tetapi empat kali. Tiga kali tembakan mengarah ke kaki kiri saya yang
sekarang diamputasi dan satu tembakan di kaki kanan. Selama saya di
rumah sakit, semua hasil pemeriksaan (rekam medik) terhadap diri saya,
dipegang oleh polisi. Tidak ada satupun keterangan rumah sakit yang
disampaikan ke keluarga saya. Soal penyakit kencing manis yang membuat
luka tembak di kaki saya membusuk, itu memang sengaja dimunculkan,” ujar
Adi-sapaan akrabnya yang diamini istrinya.
Istri Apriyadi menerangkan, setelah kali keempat suaminya dioperasi dan
dirawat di dua rumah sakit, Spesialis Bedah Orthopaedi dan Traumatologi
Rumah Sakit Umum Abdoel Moeloek (RSUAM) Bandarlampung, dr. Thurman
Silalahi memvonis, pembuluh darah kaki kiri Apriyadi pecah akibat luka
tembak. Namun, hal itu terlambat diketahui dan lambat penanganan.
Dampaknya, ada gumpalan darah beku di dalam kaki kiri.
”Kan sebelum ditangani dokter RSUAM Bandarlampung, suami saya sempat
dirawat di RSUD Islamic Center Kotaagung. Nah, dokter di RSUD Islamic
bilang suami saya kena tumor tulang. Karena kami ragu, makanya kami bawa
lagi di ke RSUAM. Begitu sampai di sana, dr. Thurman Silalahi langsung
nyeplos, bahwa dokter RSUD Islamic Center nggak sekolah. Gumpalan darah
beku akibat pembuluh darah pecah, kok dibilang tumor tulang,” tutur
istri Apriyadi.
Usut punya usut, rupanya tiga tembakan oknum polisi membuat pembuluh
darah kaki kiri Apriyadi pecah. Namun karena terlambat penanganan,
berakibat pada membusuknya luka bekas tembak. Sehingga, saat terdeteksi
tetapi sudah terlambat dan lukanya sudah infeksi fatal. Dampaknya, kaki
kiri pria usia 27 tahun itu harus segera diamputasi untuk menyelamatkan
nyawanya.
Simpang-siur terkait siapakah yang sebenarnya meminta Apriyadi keluar
dari rumah sakit, kemarin juga mulai terkuak. Dari versi polisi,
dikatakan bahwa pihak keluargalah yang mendesak supaya Apriyadi
dikeluarkan dari rumah sakit. Namun saat dikonfrontasi pada keluarga,
Hasanal dan istri Apriyadi juga membantahnya. Sebagai seorang istri yang
selalu mendampingi suaminya selama menjalani perawatan, dia tak pernah
mendesak suaminya dikeluarkan.
”Seingat saya, saya pernah ditanya sama salah satu polisi itu seperti
ini: apa ibu ini betah ya di rumah sakit. Ditanya seperti itu, ya
spontan saya menjawab: siapalah pak yang betah ada di rumah sakit
seperti ini. Mungkin dengan pertanyaan itulah saya dijebak, seolah-olah
kami dari pihak keluarga tidak betah di rumah sakit dan meminta suami
saya dipulangkan. Selama lima bulan di rumah sakit, kami sudah habis
biaya sebesar Rp23 juta. Bapak mertua sampai-sampai jual dua bidang
kebun dan tabungan kami untuk masa depan anak-anak juga terpakai semua.
Dari polisi sama sekali tidak ada bantuan biaya. Jujur sekarang saya
sangat bingung, anak masih kecil-kecil semua, masih perlu banyak biaya.
Tapi ayahnya sudah cacat seperti ini. Mau bagaimana kami membiayai masa
depan dua putri kami ini mas?” lirih wanita usia 25 tahun itu dengan
tatapan pasrah dan mata berlinang.
Sangat diharapkan perhatian khusus dari jajaran Kepolisian Daerah
(Polda) Lampung untuk menunjukkan keseriusan menindaklanjuti masalah
ini. Jika memang oknum anggota itu terbukti salah menangkap warga bahkan
sampai menembaknya, bagaimanakah langkah tegas institusi Polri sebagai
lembaga penegak hukum benar-benar melayani dan mengayomi masyarakat?
Jangan sampai jargon Korps Bhayangkara berbunyi "Kami Siap Melayani
Anda" justru berganti "Kami Siap Menyengsarakan Anda". Sangat diharapkan
juga tanggungjawab moral dari Polri untuk sepenuhnya menjamin
kelangsungan hidup dua putri Apriyadi.
Sekedar mereview berita terbitan edisi Kamis (17/12), Kasatreskrim Iptu
Syahrial membantah, jika Polres Tanggamus dituding melakukan pelanggaran
HAM terhadap salah seorang tahanan, Apriyadi alias Adi. Menurut
Syahrial, berita itu salah. Namun dia mengakui, dalam masalah ini tidak
bisa memberikan banyak keterangan. Sebab saat masalah ini terjadi,
Syahrial belum menjabat sebagai kasatreskrim.
”Itu kan sebenarnya kasus lama, waktu kasatreskrimnya sebelum saya dan
kapolresnya juga penjabat yang lama. Tetapi sepengetahuan saya, apa yang
kalian tanyakan itu tidak benar sama sekali. Karena dari rekam mediknya
di RSUAM Bandarlampung, tidak ada proyektil yang bersarang di kaki dia.
Tembakan anggota itu tembus. Lukanya membusuk, karena ternyata Apriyadi
ini menderita penyakit kencing manis. Kami juga bukannya tidak
merawatnya saat dia baru ditembak. Namun saat dirawat di rumah sakit,
Apriyadi itu sikapnya sangat tidak kooperatif. Sehingga luka yang sudah
diobati perawat, tidak kunjung sembuh. Akibatnya, pihak keluarga jenuh
dan mendesak rumah sakit mengeluarkan Apriyadi. Padahal belum ada
rekomendasi dari polres ataupun dokter yang menangani agar pasien
dipulangkan,” jelas Syahrial.
Saat tahanan itu kakinya harus diamputasi, lanjutnya, dia sedang
menjalani pendidikan di Semarang. Sehingga, tidak dapat sepenuhnya
memantau perkembangan kasus tersebut. Namun terkait izin amputasi yang
terpaksa dilakukan, Syahrial memastikan, merupakan permintaan pihak
keluarga. Dia mengaku tidak tahu, kalau saat ini berkembang rumor, bahwa
pihak keluarga melayangkan gugatan.
”Kawan-kawan bisa cek ke RSUAM Bandarlampung dan silakan temui dokter
yang menangani Apriyadi. Bukti-bukti tentang permintaan pihak keluarga
supaya pihak rumah sakit mengeluarkan Apriyadi, semuanya ada. Pastinya
ini bukan tanggungjawab kami. Soal kejahatan yang dia lakukan, tersangka
murni terlibat kasus 360 KUHAP tentang kelalaian/kealpaan yang
mengakibatkan orang lain luka berat. Itu kejahatan yang dia lakukan,”
kilah Syahrial. (Denny)