Inilah Rumah Poton Hewan milik Pemkot Bandarlampung yang terletak di Jl Wala Abdi Km 6 Kelurahan Waylaga Kecamatan Sukabumi, Bandarlampung yang terlihat sepi aktivitas. Foto : Ferry Arsyad |
BANDARLAMPUNG
– Rumah Potong Hewan (RPH)Waylaga saat
ini memang sudah kembali beroperasi sejak April 2014 lalu, setelah sekian lama
ditutup dan sempat terbengkalai. Namun upaya pemerintah Kota Bandarlampung
mengaktifkan kembali RPH dengan menggandeng swasta juga belum menampakkan hasil
signifikan.
Tidak maksimalnya
pengelolaan RPH dituding karena masih beroperasinya Tempat Potong Hewan (TPH)
ilegal milik masyarakat yang sengaja dibiarkan berdiri. Tentu saja butuh
ketegasan Pemkot menegakkan Perda, serta menertibkan TPH ilegal bila ingin RPH
menjadi salah satu penghasil Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Selama beroperasi lima
bulan lebih, dari catatan petugas RPH Waylaga baru sekitar 200 ekor sapi
dipotong di sana. Bahkan sepanjang November 2014 lalu, tak seekor hewan ternak
pun dipotong di sana.
Padahal rencananya
dioperasikannya kembali RPH sebagai upaya kerjasama pemerintah provinsi Lampung
dengan DKI Jakarta untuk memenuhi pasokan daging. Hal itu dilakukan guna
menindaklanjuti kunjungan mantan Gubernur DKI Joko Widodo dan mantan Gubernur
Lampung Sjahroedin ZP ke RPH, Rabu (23/4) lalu.
Mirisnya lagi, dari
pengakuan petugas ternyata pemilik ternak yang memotong di RPH tersebut justru
bukan datang dari Bandarlampung, tetapi dari luar daerah seperti dari Kabupaten
dan Kabupaten Tanggamus.
“Yang motong dari
Bandarlampung jarang mas, ada tapi kadang-kadang saja, nggak tentu. Bahkan
untuk sebulan terakhir ini kita belum motong sama sekali,” kata Mansyur salah
satu petugas RPH, Jumat (28/11). Praktis selama tidak ada hewan yang dipotong
mereka tidak melakukan aktivitas apapun selain berjaga-jaga di RPH yang
kondisinya terlihat sepi.
Pernyataan petugas RPH
tersebut jelas bertolak belakang dengan pernyataan Kepala Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan Lampung Dessy Romas beberapa waktu lalu yang mengatakan setelah
RPH Waylaga beroperasi, diharapkan nantinya 10 persen dari jumlah sapi impor
yang masuk ke provinsi Lampung akan diwajibkan untuk memotong di RPH, sesuai
rekomendasi yang dikeluarkan dinas.
“Per harinya bisa
memotong sampai 100 sampai 150 hewan, Saat ini, persiapan yang sudah dilakukan
yakni sudah masuk audit dari PT Sucofindo dan Australia sebagai negara
pengimpor sapi. Selain itu pengoperasiannya juga sudah disetujui pemerintah
pusat,” kata Dessy, kala itu.
Rendahnya minat
pemilik ternak memotong di RPH ditengarai selain karena infrastruktur jalan
yang tidak mendukung, lokasi yang jauh di pinggiran kota sehingga dinilai meningkatkan biaya
operasional menjadi alasannya.
“Sepertinya para pengusaha ternak lebih memilih potong di TPH milik
masyarakat ketimbang ke sini mas. Saya tidak tahu apa alasan mereka lebih
memilih ke sana. Tapi ya mungkin karena ke sini jauh dan jalan ke sini masih
rusak,” kata Mansyur yang diamini rekannya, Suyatin.
Menurutnya, salah satu cara agar masyarakat Bandarlampung mau
memotong hewan miliknya di RPH adalah dengan menutup TPH illegal yang ada di
masyarakat. Sebab ujarnya, bila merujuk Peraturan Daerah (Perda)
Nomor 13 Tahun 2008 tentang Rumah Potong Hewan (RPH), apabila telah berdiri
RPH, maka TPH yang ada seharusnya ditutup.
“Ya satu-satunya jalan RTH liar itu ditutup. Kemudian pemerintah
kota tegas menegakkan perda, bila mereka melanggar diberikan sanksi, jadi
mau-tak mau para pemilik ternak potong ke sini. Tapi kalau hal itu tidak
dilakukan ya akan tetap seperti ini,” harapnya.
Menurut dia, saat ini masih banyak TPH ilegal yang beroperasi
Hal tersebut bukan tidak diketahui pihak Dinas Pertanian,
Peternakan dan Kehutanan (Distannakhut) Kota Bandarlampung. Justru beberapa
diantaranya menjadi binaan mereka.
“Padahal kalau mereka potong di sini, kita akan jamin kesehatan
dan kehalalan dagingnya. Karena kita tidak akan potong bila surat menyuratnya
tidak lengkap serta hewan dalam keadaan sehat melalui pemeriksaan dokter hewan.
Kalau mereka potong di luar tentu kita tidak jamin kesehatan dagingnya,”
paparnya.
Selain itu lanjut dia, biaya yang dikenakan untuk sekali potong
terbilang murah yakni Rp 150 ribu per ekor. “Dari harga tersebut Rp35 ribu nya
kita setorkan ke kas daerah sebagai PAD,” tandasnya.
Untuk diketahui,RPH Waylaga bukanlah aset baru.Tempat ini ada
sejak 2001, dan baru diresmikan 2003 oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) kala
itu Hari Sabarno. Tempat ini dibangun dengan dana bantuan Jepang sebesar Rp4,8
miliar di atas lahan seluas 2 hektare.
Sempat dioperasikan saat awal-awal dibangun, kemudian ditutup karena warga sekitar mengeluh dengan limbah yang dihasilkan tempat tersebut.Bau busuk menyengat dari kotoran hewan hasil pemotongan, sehingga mencemari udara sekitar.
Namun saat Eddy Sutrisno menjabat sebagai Wali kota Bandarlampung, terdapat upaya untuk memberdayakan tempat ini. Sayangnya kurang berhasil.
Wali Kota Herman H.N. pun juga mencoba mengaktifkan kembali pada Januari lalu. Dengan kondisi yang memprihatinkan, ia pun berjanji akan membenahi sarana dan prasarana penunjang. Agar, konsumen tidak merasa enggan memotong hewan ternaknya di lokasi yang sudah ditetapkan.
Dia juga menjanjikan segera memperbaiki akses jalan keluar-masuk RPH yang saat ini rusak parah.Upaya untuk mengaktifkan kembali pun dilakukan pemprov. Setelah menandatangani kerja sama dengan Pemprov DKI Jakarta bahwa Lampung siap memasok daging sapi, dan pemotongan akan dilakukan di RPH ini. Pembenahan mulai terlihat, terlebih saat Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo atau yang biasa akrab disapa Jokowi mengunjungi tempat tersebut pada Rabu (23/4).
RPH ini terlihat cukup luas.Wajar, jika dibangun di lahan seluas 2 ha. Terdapat empat bangunan kantor, namun terlihat cukup terbengkalai. Banyak debu.Begitu pun dengan alat-alat yang ada, menunjukkan jarang digunakan. ( Ferry Arsyad)
0 komentar:
Posting Komentar