Menteri Perdagangan, Rachmat Gobel curiga ada dalang di
belakang banjirnya gula rafinasi impor di Lampung. Siapa bermain di air
keruh?
BANDARLAMPUNG -
Lampung kebanjiran gula rafinasi. Ini masalah serius yang harus segera
ditanggulangi. Karena itulah, Menteri Perdagangan (Mendag), Rachmat Gobel
mengunjungi Lampung, Sabtu (22/11).
Ada tiga perusahaan besar produsen gula yang disambangi.
Namun karena keterbatasan waktu, Rachmat Gobel hanya berkunjung ke PT Gunung
Madu Plantation (GMP) di Lampung Tengah dan PT Sugar Labinta di Tanjung
Bintang, Lampung Selatan.
"Kita akan audit satu per satu (perusahaan). Hasil
auditnya minggu depan. Sanksinya, kalau parah bisa sampai pencabutan
izin," ungkap Rachmat Gobel usai berkunjung.
Masalah peredaran gula rafinasi di masyarakat, dinilai
Mendag, merupakan persoalan serius. Selain merugikan petani tebu karena harga
gula anjlok, kesehatan masyarakat pun menjadi terganggu.
Atas dasar itu pula, Rachmat Gobel bersama rombongan
Kemendag mengecek langsung sejumlah perusahaan gula dan perusahaan rafinasi
gula di Lampung.
“Masalah gula ini menjadi persoalan serius di tanah air.
Tingginya harga gula menjadi beban bagi masyarakat. Sementara harga gula murah
yang ada di pasaran, disinyalir rafinasi,” terang dia.
Mendag mencatat, harga gula di pasaran anjlok hingga Rp8.500
sebagai dampak dari gula rafinasi.
"Ya, semestinya ada tiga pabrik yang akan saya
kunjungi. Tapi, hanya dua (perusahaan) saja. Saya ingin mempelajari dan
mengetahui pabrik gula di Indonesia. Karena gula ini isu besar," ungkap
Rachmat pula.
Menurutnya, rafinasi merupakan gula industry, bukan untuk
konsumen. Persoalan menjadi muncul karena gula rafinasi masuk ke pasaran. “Saya
mau lihat, siapa yang bermain di sini,” ujarnya.
Jika nanti berdasarkan hasil auditing sudah diketahui, maka
Mendag akan membuat regulasi yang tepat. Khususnya menyangkut permasalahan
gula. Menteri juga ingin mengatahui dan memantau langsung,
perusahaan mana yang benar-benar serius di bisnis gula, dan yang tidak.
Rachmat Gobel berjanji, Kemneterian Perdagangan akan
mengaudit perusahaan-perusahaan rafinasi gula di Indonesia, termasuk 11
perusahaan yang ada di Lampung. Pihak PT GMP belum bisa dikonfirmasi perihal rencana
auditing impor gula rafinasi yang akan dilaksanakan Kementerian Perhubungan
tersebut.
Manager Administrasi PT Sugar Group Companies (SGC), Heru
Sapto melalui pesan singkatnya, semalam, menyatakan tidak mengetahui kedatangan
Menteri Perdagangan ke Lampung.
Namun, Heru mendukung upaya Kementerian yang akan mengaudit
importir gula di Lampung, karena ini akan menjadi berita bagus untuk industry
gula. “Kalau informasinya benar, itu akan menjadi berita bagus untuk industry
gula,” kata Heru Sapto.
Menurutnya, yang membuat harga gula terpuruk saat ini,
adalah adanya kebocoran atau rembesan gula rafinasi impor yang masuk ke pasar
tradisional tanpa terkontrol.
“Mestinya, gula rafinasi dikhususkan untuk industry, bukan
untuk konsumsi masyarakat. SGC (PT Sugar Group Companies) punya perkebunan tebu
yang diproses menjadi gula, bukan importir gula,” jelas dia.
Konpers
Maraknya peredaran gula rafinasi di pasaran Lampung kurun
waktu satu bulan terakhir, sempat membuat ‘tegang’ banyak pihak.
Pemprov Lampung melalui Sekdaprov Arinal Junaidi pun
mendadak menggelar konferensi pers (konpres) di pressroom Diskominfo Lampung,
beberapa waktu lalu.
Selain Kepala Diskominfo Chrisna Putra dan Kepala Biro
Perekonomian Fahrizal, Kadis Perindustrian Tony OL Tobing, Kadis Perdagangan
Ferynia, konpers juga dihadiri perwakilan PTPN VII, salah satu produsen gula,
Agus Rianto.
“PTPN sengaja diundang, karena ada kaitan dengan pembiayaan
yang berkaitan dengan anggaran belanja Negara sekaligus merupakan Badan Usaha
Milik Negara (BUMN),” ujar Arinal.
Menurutnya, Lampung sebagai produsen gula terbesar di
Indonesia, yakni 40% konsumsi nasional atau 2,69 juta ton dari 5,10 juta ton
kebutuhan gula dalam negeri.
Namun, adanya kebijakan pemerintah untuk tidak menggangu
gula konsumsi, maka gula rafinasi terpaksa diimport. Butuh 3,7 juta ton gula
rafinasi impor, akan tetapi jumlah yang didatangkan tersebut melelbihi
kebutuhan. Yakni mencapai 5,9 juta ton.
Artinya, telah terjadi kelebihan gula rafinasi untuk Lampung
sebanyak 2,2 juta ton. Kelebihan inilah yang akhirnya dijual ke pasaran, hingga
harga gula menjadi anjlok. Indikasi adanya permainan impor rafinasi mulai terlihat,
karena Dinas Perindustrian maupun Dinas Perdagangan Lampung tidak pernah
memberi izin kepada satu perusahaan pun untuk impor gula rafinasi dalam jumlah
besar.
Persoalan semakin serius, manakala gula rafinasi tersebut
dijual di pasaran bebas. Sebab, Kepala
Dinas Perdagangan Ferynia menegaskan, gula rafinasi tidak boleh dikonsumsi
rumah tangga.
Bahkan, instansi itu mengingatkan kepada masyarakat untuk berhati-hati
membeli gula rafinasi karena jenis gula ini belum layak konsumsi. (Arif)
0 komentar:
Posting Komentar