Apriyadi bersama anak dan istrinya. Nampak difoto Apriyadi harus diamputasi kaki kirinya karena ditembak polisi. |
Bisa dibilang sosok Apriyadi, warga Pekon Rajabasa, Kecamatan Bandarnegeri Semuong itu, adalah salah satu Warga Negara Indonesia (WNI), yang seharusnya mendapatkan persamaan dan keadilan hak di depan hukum, justru diduga menjadi tumbal dari ulah sembrono oknum aparat yang tidak profesional dalam bertugas. Lebih ironis lagi, Apriyadi yang saat ditangkap punya sepasang kaki, ketika kembali dalam pelukan isteri dan kedua putrinya, hanya punya kaki kanan. Bagaimanakah dia sebagai kepala keluarga yang hanya punya satu kaki, harus menghidupi seorang istri dan dua buah hatinya, yang masing-masing berusia sembilan dan 2,5 tahun?
Saat dikonfirmasi terkait penangkapan, penembakan, hingga penahanan Apriyadi pada 23 Juni lalu, Pj. Kasatreskrim Iptu. Syahrial mendampingi Kapolres Tanggamus AKBP Dedi Supriyadi,beberapa waktu yang lalu menampik keras jika mereka salah tangkap. Polisi memastikan bahwa bapak dua anak itu merupakan pelaku kejahatan yang diatur dalam Pasal 360 KUHAP tentang kelalaian/kealpaan yang mengakibatkan orang lain terluka.
Sementara dari penuturan Hasanal (52) yang tak lain ayah Apriyadi yang didampingi Kepala Pekon Rajabasa, Ahmad Fauzi dengan lugas menerangkan, awalnya Apriyadi ditangkap karena dituduh terlibat kasus 365 KUHAP tentang pencurian dengan kekerasan (curas) turis luar negeri di wilayah Kecamatan Wonosobo. Mereka mengaku tak habis pikir, mengapa penerapan pasal itu bisa berbeda dengan yang disampaikan pada media massa, setelah kasus ini mencuat ke permukaan.
”Jujur ya mas, sekarang ini kami sudah sangat bersyukur karena anak saya ini bisa bebas. Dia dibebaskan hari Rabu (17/12) sekitar pukul 15.00 WIB. Makanya sekarang ini sebenarnya kami sangat takut menyampaikan keterangan kami. Karena kemarin sore, waktu saya menjemput Apriyadi, baik saya, Apriyadi, dan semua keluarga diminta untuk tidak macam-macam oleh bapak polisi. Karena kalau sampai setelah pembebasan Apriyadi muncul masalah baru, maka anak saya ini akan ditangkap lagi,” ungkap Hasanal yang mengaku cobaan yang menimpa keluarganya itu sangat berat.
Selain adanya perbedaan tuduhan pasal yang disangkakan, kejanggalan juga terlihat saat proses penangkapan Apriyadi. Baik Hasanal sebagai ayahnya, maupun Ahmad Fauzi sebagai Kepala Pekon Rajabasa menegaskan, rombongan buser tidak memberikan selembar pun surat saat menangkap Apriyadi pada hari Senin (23/6) sekitar pukul 11.00 WIB. Surat pemberitahuan penangkapan, baru diserahkan ke kepala pekon dua hari pascapenangkapan, yaitu pada 25 Juni, sesuai tanggal surat yang ditandatangani oleh kasatreskrim sebelum Syahrial.
Pria paruh baya yang sehari-harinya memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dengan bertani dan berkebun itu juga membantah, jika Apriyadi mengidap penyakit kencing manis. Menurut dia, dalam keluarganya tidak ada riwayat penyakit tersebut. Sementara Apriyadi mengaku, soal riwayat penyakit kencing manis itu sengaja dimunculkan oleh polisi. Terkait peluru yang menembus kaki Apriyadi, itu memang benar, yaitu tembakan yang diarahkan ke betis. Namun, proyekil tembakan pada mata kaki kiri yang bersarang di dalam.
”Saya ditangkap bulan Juni dan baru hari rabu (17/12) saya boleh bebas. Jadi sekitar lima bulanan saya menghabiskan waktu di rumah sakit untuk menjalani empat kali operasi. Karena saya ditembak bukan hanya sekali, tetapi empat kali. Tiga kali tembakan mengarah ke kaki kiri saya yang sekarang diamputasi dan satu tembakan di kaki kanan. Selama saya di rumah sakit, semua hasil pemeriksaan (rekam medik) terhadap diri saya, dipegang oleh polisi. Tidak ada satupun keterangan rumah sakit yang disampaikan ke keluarga saya. Soal penyakit kencing manis yang membuat luka tembak di kaki saya membusuk, itu memang sengaja dimunculkan,” ujar Adi-sapaan akrabnya yang diamini istrinya.
Istri Apriyadi menerangkan, setelah kali keempat suaminya dioperasi dan dirawat di dua rumah sakit, Spesialis Bedah Orthopaedi dan Traumatologi Rumah Sakit Umum Abdoel Moeloek (RSUAM) Bandarlampung, dr. Thurman Silalahi memvonis, pembuluh darah kaki kiri Apriyadi pecah akibat luka tembak. Namun, hal itu terlambat diketahui dan lambat penanganan. Dampaknya, ada gumpalan darah beku di dalam kaki kiri.
”Kan sebelum ditangani dokter RSUAM Bandarlampung, suami saya sempat dirawat di RSUD Islamic Center Kotaagung. Nah, dokter di RSUD Islamic bilang suami saya kena tumor tulang. Karena kami ragu, makanya kami bawa lagi di ke RSUAM. Begitu sampai di sana, dr. Thurman Silalahi langsung nyeplos, bahwa dokter RSUD Islamic Center nggak sekolah. Gumpalan darah beku akibat pembuluh darah pecah, kok dibilang tumor tulang,” tutur istri Apriyadi.
Usut punya usut, rupanya tiga tembakan oknum polisi membuat pembuluh darah kaki kiri Apriyadi pecah. Namun karena terlambat penanganan, berakibat pada membusuknya luka bekas tembak. Sehingga, saat terdeteksi tetapi sudah terlambat dan lukanya sudah infeksi fatal. Dampaknya, kaki kiri pria usia 27 tahun itu harus segera diamputasi untuk menyelamatkan nyawanya.
Simpang-siur terkait siapakah yang sebenarnya meminta Apriyadi keluar dari rumah sakit, kemarin juga mulai terkuak. Dari versi polisi, dikatakan bahwa pihak keluargalah yang mendesak supaya Apriyadi dikeluarkan dari rumah sakit. Namun saat dikonfrontasi pada keluarga, Hasanal dan istri Apriyadi juga membantahnya. Sebagai seorang istri yang selalu mendampingi suaminya selama menjalani perawatan, dia tak pernah mendesak suaminya dikeluarkan.
”Seingat saya, saya pernah ditanya sama salah satu polisi itu seperti ini: apa ibu ini betah ya di rumah sakit. Ditanya seperti itu, ya spontan saya menjawab: siapalah pak yang betah ada di rumah sakit seperti ini. Mungkin dengan pertanyaan itulah saya dijebak, seolah-olah kami dari pihak keluarga tidak betah di rumah sakit dan meminta suami saya dipulangkan. Selama lima bulan di rumah sakit, kami sudah habis biaya sebesar Rp23 juta. Bapak mertua sampai-sampai jual dua bidang kebun dan tabungan kami untuk masa depan anak-anak juga terpakai semua. Dari polisi sama sekali tidak ada bantuan biaya. Jujur sekarang saya sangat bingung, anak masih kecil-kecil semua, masih perlu banyak biaya. Tapi ayahnya sudah cacat seperti ini. Mau bagaimana kami membiayai masa depan dua putri kami ini mas?” lirih wanita usia 25 tahun itu dengan tatapan pasrah dan mata berlinang.
Sangat diharapkan perhatian khusus dari jajaran Kepolisian Daerah (Polda) Lampung untuk menunjukkan keseriusan menindaklanjuti masalah ini. Jika memang oknum anggota itu terbukti salah menangkap warga bahkan sampai menembaknya, bagaimanakah langkah tegas institusi Polri sebagai lembaga penegak hukum benar-benar melayani dan mengayomi masyarakat? Jangan sampai jargon Korps Bhayangkara berbunyi "Kami Siap Melayani Anda" justru berganti "Kami Siap Menyengsarakan Anda". Sangat diharapkan juga tanggungjawab moral dari Polri untuk sepenuhnya menjamin kelangsungan hidup dua putri Apriyadi.
Sekedar mereview berita terbitan edisi Kamis (17/12), Kasatreskrim Iptu Syahrial membantah, jika Polres Tanggamus dituding melakukan pelanggaran HAM terhadap salah seorang tahanan, Apriyadi alias Adi. Menurut Syahrial, berita itu salah. Namun dia mengakui, dalam masalah ini tidak bisa memberikan banyak keterangan. Sebab saat masalah ini terjadi, Syahrial belum menjabat sebagai kasatreskrim.
”Itu kan sebenarnya kasus lama, waktu kasatreskrimnya sebelum saya dan kapolresnya juga penjabat yang lama. Tetapi sepengetahuan saya, apa yang kalian tanyakan itu tidak benar sama sekali. Karena dari rekam mediknya di RSUAM Bandarlampung, tidak ada proyektil yang bersarang di kaki dia. Tembakan anggota itu tembus. Lukanya membusuk, karena ternyata Apriyadi ini menderita penyakit kencing manis. Kami juga bukannya tidak merawatnya saat dia baru ditembak. Namun saat dirawat di rumah sakit, Apriyadi itu sikapnya sangat tidak kooperatif. Sehingga luka yang sudah diobati perawat, tidak kunjung sembuh. Akibatnya, pihak keluarga jenuh dan mendesak rumah sakit mengeluarkan Apriyadi. Padahal belum ada rekomendasi dari polres ataupun dokter yang menangani agar pasien dipulangkan,” jelas Syahrial.
Saat tahanan itu kakinya harus diamputasi, lanjutnya, dia sedang menjalani pendidikan di Semarang. Sehingga, tidak dapat sepenuhnya memantau perkembangan kasus tersebut. Namun terkait izin amputasi yang terpaksa dilakukan, Syahrial memastikan, merupakan permintaan pihak keluarga. Dia mengaku tidak tahu, kalau saat ini berkembang rumor, bahwa pihak keluarga melayangkan gugatan.
”Kawan-kawan bisa cek ke RSUAM Bandarlampung dan silakan temui dokter yang menangani Apriyadi. Bukti-bukti tentang permintaan pihak keluarga supaya pihak rumah sakit mengeluarkan Apriyadi, semuanya ada. Pastinya ini bukan tanggungjawab kami. Soal kejahatan yang dia lakukan, tersangka murni terlibat kasus 360 KUHAP tentang kelalaian/kealpaan yang mengakibatkan orang lain luka berat. Itu kejahatan yang dia lakukan,” kilah Syahrial. (Denny)